Cerpen: DARA DI BATAS USIA


 

 


Dara berkulit gelap itu termenung dengan tangan kiri tertopang ke dagu. Mata lelahnya menerobos pekatnya malam dari balik gorden yang sedikit tersingkap. Desah kegundahan tak henti keluar dari mulutnya. Sesekali disekanya air mata yang menitik melintasi pipi yang tak lagi mulus. Tak mulus memang. Namun pipi tersebut masih bisa merasakan kulit punggung tangannya yang kini mulai mengendur.

 

Malam semakin larut. Semilir angin hinggap di pucuk-pucuk yang kemudian bergoyang pelan. Dingin udara malam terasa menusuk hingga ke tulang. Sang dara meringis. Ada segaris rasa sakit mengiris seiring hembusan angin. Ada setangkup haru mengoyak kala udara malam mencengkram. Ringkih. Pilu.

Seperti menjadi rutinitas, jika alam mulai gelap, ia akan mengintip malam melalui celah gorden yang terbuka, menembus kepekatan di antara gigilnya alam. Selalu ia berharap, ada rahasia alam yang terkuak di gelap malam, yang dapat memberinya jawaban tentang teka-teki atas penantiannya akan datangnya seorang pendamping hidup.

 Dan di antara gelapnya semesta, langit raya dan gemintangnya adalah hal yang paling ia rindukan. Ada banyak kerlipan bintang di sana. Sebersit harap kerap terlintas: satu dari ribuan kerlip cahaya tersebut akan jatuh melesat dengan pijaran cahayanya, yang kemudian muncul di hadapannya sebagai seorang pangeran yang datang dikhususkan untuknya.

 

Namun sayang, bintang jatuh dan pangeran hanyalah dongeng belaka, hanya cerita khayal semata. Tak ada bintang jatuh, tak ada pangeran, dan tak ada pula pendamping baginya. Hingga kini, hingga batas usia bagi lazimnya perempuan dewasa untuk berumah tangga, belum juga ia mendapat belahan jiwa.

 

Empat puluh lima tahun. Ya, di usianya tersebut belum juga Tuhan memberkahinya jodoh. Usia setua itu telah lebih dari cukup bagi seorang perempuan untuk mempunyai suami dan menimang anakSebagaimana kawan-kawannya, kerabatnya, dan bahkan dua adik perempuannya yang sudah menikah melangkahinya. Dan tadi siang, tepat di tengah hari yang menyengat, adik bungsunya dengan ragu-ragu memberitahu dan meminta izin untuk melangkahinya pula. Sejenak ia terdiam, menatap sang adik yang menunggu dengan kepala tertunduk. Akhirnya ia mengangguk juga. Sang adik bersuka ria yang kemudian memeluknya penuh dengan kegembiraan. Air mata merembes, membasahi kelopak dan sudut-sudut matanya. Sang adik melepaskan pelukan, mundur perlahan, dan menatapnya dengan haru biru. Kata maaf terlontar dari mulut sang adik. Namun kemudian ia berujar.

 

“Tak perlu meminta maaf. Tangis ini adalah tangis bahagia untukmu, bukan tangis kesedihan,” ucapnya. Namun percayalah! Hatinya saat itu meleleh, seperti melelehnya es krim di tangan keponakannya yang terbakar matahari siang tadi.

 

Sungguh pilu hidup tanpa seorang pendamping. Tak ada tempat untuk mengadu, tak ada penghibur di kala sendu. Dan seperti kebiasaan wanita tanpa pendamping, ia pun sibuk digunjing, menjadi buah bibir orang sekeliling. Dilempar kesana kemari tak ada henti-hentinya. Dirinya seolah menjadi cerita menarik yang seperti tak akan pernah usai. Cerita tentang perempuan yang akan tetap menjadi perawan karena tak menikah.

 

Dulu sewaktu umurnya masih belia dan pipinya masih ranum, beberapa pria ingin mempersuntingnya. Mereka datang dengan berbagai macam janji dan buah tangan. Ada yang datang dengan uang dan perhiasan. Ada yang datang dengan gelar dan kedudukan. Pun ada yang datang dengan sebongkah cinta yang konon katanya bongkahan tersebut bisa berkuasa atas segalanya. Janjipun terburai dari mulut mereka. Ada yang menjanjikan gunung mas. Ada yang menjanjikan takhta dan kejayaan. Dan pula ada yang menjanjikan lautan cinta dengan romantisme buta di dalamnya.

 

Namun tak satupun dari mereka mampu menggoyahkan apalagi meruntuhkan hatinya. Ia memandang mereka dengan mata terpicing. Sebuah keyakinan dipegangnya kuat bahwa ini zaman modern di mana seorang wanita akan mampu hidup sendiri setidaknya sampai semua mimpi dan angannya terkejar. Semua pinangan pun terpental, tak sanggup menembus dinding baja yang melingkupi hatinya. Dan sang dara terus berlari mengejar puncak kehidupan yang sebenarnya tak lebih dari sebuah fatamorgana. Ia meninggalkan semua di bawahnya dan tersenyum penuh kemenangan saat mencapai puncak mimpi.

 

Detik bergulir, masa berselang. Beberapa letusan pesta kembang api di pergantian tahun telah berulang-ulang berlalu melewatinya. Lambat laun kulitnya mulai mengendur dan penglihatannya merabun. Saat ia sadar, ia mendapati tak seorang pun di sekelilingnya. Kawan-kawan dan kerabat telah menjauh dan sibuk dengan urusan keluarga masing-masing. Pria pun sepertinya tak ada lagi yang tertarik padanya. Tak ada apapun dan seorang pun ia miliki kecuali sepi yang menikam. Seperti sepinya ubun-ubun malam yang kini selalu ia lalui dalam sesal dan penantian.***

Oleh Wawang Santika A

 

 

 

 

 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

JELAGA

Pangreuah-reuah dina Miéling Poé Basa Indung Sadunya