JELAGA

                                                                       



Perempuan itu mengaduk-aduk nasi yang baru setengahnya menjadi bubur di sebuah panci penyok. Jelaga pekat menghiasi wadah tersebut yang mana setiap hari bertambah kepekatannya. Lidah-lidah api menjulur dari kayu bakar di dalam tungku yang kemudian menjilati bagian bawah dan pada sebagian tubuh panci. Angin membawa asap dari lidah-lidah api tersebut, menyisakan jelaga di langit-langit dapur, juga pada setiap benda yang ia lewati. Dan inilah: hitam berjelaga di seluruh ruangan dengan kepekatan yang akan terus bertambah setiap harinya.

 

Perempuan itu meniup api tatkala dilihatnya kayu bakar hampir setengah padam. Percikan-percikan bunga api menyembur di depannya. Sebentar kayu itu menyala, sebentar padam lagi. Kemudian ditambahkannya potongan-potongan kayu kecil karena kayu di dalam tungku ludes terbakar. Dengan telaten ia meniupi api yang padam yang kemudian menyala kembali dan menjalar ke seluruh kayu yang ia masukkan. Api pun menjadi besar kembali.

 

Matanya menatap pinggiran tungku, tempat ia menyimpan tumpukan kayu bakar. Ia mendapati tempat itu kosong, kecuali potongan kayu kecil. Kemudian dilihatnya langit-langit dapur, tempat yang seharusnya penuh pula oleh kayu. Namun sama: kosong, kecuali beberapa buah jagung yang tergantung, yang biasa ia gunakan satu persatu sebagai pengisi perut penyambung nyawa. Jagung itu tergantung di sana biasanya dalam waktu yang cukup lama. Jika panen jagung tiba, akan ada banyak jagung bergantungan. Namun jagung itu terkikis satu persatu seiring berlalunya musim. Jika memungkinkan, jagung itu akan bertahan hingga datangnya kemarau, yang memang cukup berguna untuk mempertahankan diri dari kelaparan.

 

“Kayu kita sudah habis, Bang,” terdengar perempuan itu berujar. Di ruang tengah, yang dari dapur hanya terpisah oleh sekat bilik bambu, tampak seorang laki-laki dengan badan tinggi tegap sedang terlentang di atas dipan. Matanya merem-melek, tak terganggu oleh asap yang membumbung memenuhi ruangan.

 

Laki-laki itu tak menyahut.

 

“Kenapa gak pernah nyari kayu bakar? Kayu kita habis.” Perempuan itu berujar lagi dengan suara yang lebih keras. Tatkala tak didengarnya juga jawaban, ia melongokkan kepala ke arah suaminya rebahan.

 

“Bang?”

 

“Alah cerewet amat. Kayunya basah semua, tau? Apalagi beberapa minggu ini hujan terus.” 

“Tapi kan bisa dijemur. Gak tiap hari hujan. Kadang ada panas juga, cukup buat jemur kayu.”


 

“Huh,” laki-laki itu mendengus. “Berat ngangkutnya. Badan pegal-pegal.” 

Perempuan itu terdiam.

 

“Lagian, sekarang gak musim lagi nyari kayu bakar. Yang dicari zaman sekarang tuh bunga yang lagi ngetrend: aglonema, janda bolong, edelweiss, lavender, kaktus, dan banyak yang lainnya. Abang ke gunung nyari bunga aneh buat dijual, bukannya nyari kayu bakar.”

 

“Tapi bunganya gak pernah laku. Mondar-mandir ke gunung cuma bawa bunga-bunga liar. Kita hidup di kampung, Bang. Yang kita butuhkan kayu bakar untuk pengganti gas LPG, bukannya bunga. Kalau bunga-bungaan sih di kita gak usah beli juga udah banyak berkeliaran. Di kota bisa laku, di kita gak bakalan.” Istrinya merutuk-rutuk. Laki-laki itu tak menyahut. Ditariknya kain sarung hingga menutupi tubuhnya yang kini tidur meringkuk. Sebagian kain sarung ia tutupkan ke telinga, seakan tak ingin mendengar rutukan istrinya.

 

Perempuan itu masih mengaduk-aduk bubur yang masih setengah matang. Matanya menatap nanar hamparan padi yang menguning di kejauhan sana.

 

“Seandainya padi itu punyaku,” batinnya. Tapi bukan, padi itu bukan miliknya. Padi itu milik Ramli, lelaki desa yang dulu ia tolak mentah-mentah lamarannya. Begitupun kebun berisi palawija dan sebuah kolam ikan di sampingnya. Semua itu milik Ramli.

 

“Aku cinta sama kamu, Tin. Aku ingin melamar kamu,” ujar Ramli kala itu. Tapi ia membuang muka.

 

“Aku sudah punya pilihan. Jamal adalah lelaki pilihanku,” jawabnya tegas.

 

“Lelaki pindahan dari kota itu? Apakah karena Jamal pula kamu memutuskan hubungan kita?”

 

“Ya.” Tini mengangguk pasti.

 

“Kenapa… kamu tega? Kenapa kamu malah pilih dia?” Ramli menatap Tini dengan nanar.


“Karena dia gak kampungan kayak kamu. Karena kerjanya gak meladang dan menanam padi


kayak kamu,” ujarnya ketus. Mata Ramli berkunang-kunang. Badannya limbung. Ditatapnya kepergian Tini yang kemudian hilang di tikungan jalan. Kerudung warna biru dan sebuah cincin pengikat yang dulu ia berikan kini kembali dalam genggamannya. Tini telah menghilang.

 

Sebulan kemudian Tini dan Jamal menikah. Mereka pindah ke kota. Kabarnya mereka hidup bahagia di sana. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang putera, yang hari kelahirannya selang beberapa hari setelah Ramli menikah dengan seorang gadis desa.

 

Waktu  demi  waktu  berlalu.  Begitu  banyak  peristiwa  yang  menimpa  negeri  ini  hingga mengharuskan  rakyat  bergulat  dalam  kemelaratan.  Harga  sembako  memang  sudah  naik  sejak zaman Tini masih berumur belasan. Ia pun bukannya tak pernah mengalami kesulitan ekonomi. Jangankan buat melanjutkan sekolah,  dapat makan nasi sehari tiga kali saja sudah untung bukan

kepalang. Tetangganya malah ada yang sampai hanya sekali dalam satu hari dapat nasi, atau bahkan tidak sama sekali kecuali nasi jagung. Audzubillah. Tini sering bergidik ngeri. 

        Karena itu, ia ingin mendapatkan suami yang berpenghasilan tetap dengan gaji mengalir tiap bulannya. Saat Jamal hadir di kampung mereka, lelaki itu diperebutkan banyak gadis. Jamal, yang bekerja di sebuah pabrik di kota, memang gak cakep-cakep amat. Gayanya pun biasa saja. Tapi dia kan orang kota, punya pengalaman dan pergaulan luas. Meski sebenarnya orang desa pun sekarang banyak yang pintar dan punya pergaulan luas, gak kalah dengan orang kota. Tapi setidaknya itulah yang Tini pikirkan tentang Jamal, selain gaji bulanannya dari pabrik tentunya.

 

Tini tidak mau menikah dengan orang kampung. Ia bosan menjadi buruh tani selamanya. Ia bosan jika harus pergi ke kebun dan sawah orang seumur hidup, menanam jagung dan bibit padi milik orang, atau berpanas-panasan memotong padi jika panen tiba. Ia tak ingin lagi bergulat dengan daun-daun padi atau daun jagung yang bikin kulitnya gatal, atau berat-berat menggendong padi ke penggilingan untuk dijadikan beras, atau juga ikut sibuk membetulkan aliran air jika musim kemarau tiba. Ia tak ingin melakukan hal itu lagi. Ia ingin kehidupan berubah. Ia ingin meninggalkan semua kemelaratan itu.

Karenanya, ia dengan senang hati menerima pinangan Jamal saat lelaki itu melamarnya. Harapannya hanya satu: kehidupan akan berubah menjadi lebih baik. Apalagi saat itu Ramli masih menjadi lelaki desa pengangguran. Ia dapat uang hanya jika seseorang menyuruhnya. Jika tidak, ia bekerja serabutan mencari kayu atau apa saja sekedar penyambung hidup. Nasibnya sama seperti Tini. Jadi, tak banyak yang ia harapkan dari Ramli.

 

Tak terasa, anak Tini sudah berumur 2 tahun. Tiba-tiba kabar mengejutkan datang: Jamal di-PHK dan menganggur. Para buruh pabrik berdemo, namun usaha mereka tidak bisa mengembalikan keadaan. Putus asa karena tidak dapat kerja yang lain, Tini dan Jamal pun pulang ke desa. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang diperuntukkan oleh orang tua Tini jika perempuan itu kembali ke desa suatu hari nanti.

 

Sehari dua hari, sebulan dua bulan, kehidupan terasa makin menghimpit. Sisa uang pesangon sudah habis. Memang, sebagian uang itu mereka gunakan untuk usaha, namun gagal. Sisanya mereka gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Di zaman serba susah ini, uang mana bisa tahan lama. Harga beras sangat mahal, begitupun dengan harga minyak goreng, minyak tanah, terigu, gula pasir, dan lain-lain. Jika minyak tanah bisa diganti dengan kayu bakar, maka minyak goreng dan gula pasir gak bakalan bisa diganti. Mereka tetap jadi kebutuhan utama.

 

Apalagi harga emas, jauh melambung tinggi. Tini tak berani sedikitpun untuk mengkhayalkan tentang perhiasan karena tak akan pernah bisa dijangkau. Sekali seumur hidup ia menggunakan emas adalah cincin kawin sebagai mahar pernikahannya, yang tak lama setelah menikah ia jual lagi.


 

Uang habis, usaha gagal terus. Suaminya telah setahun lebih jadi pengangguran. Lelaki itu tak bisa menghasilkan uang. Ia tak bisa mencangkul ataupun menanam padi dan jagung. Kalau ada orang yang butuh pekerja untuk disuruh-suruh, misalnya ngecat rumah atau kerjaan lainnya, lelaki itu seperti ogah-ogahan, malu atau gengsi.

 

Mungkin orangpun risih meminta bantuan atau menyuruhnya. Ia pun hanya ongkang-ongkang kaki di rumah sembari mengharap keajaiban datang. Untuk menyambung nyawa, ia mengandalkan istrinya bekerja, menunggu suruhan orang, menjadi buruh tani. Karenanya, makan pun serabutan, kadang bubur nasi kadang pula bubur jagung. Lelaki itu seperti tak pernah berpikir untuk mengubah keadaan.

 

Tiga bulan terakhir ini lelaki itu sibuk ke gunung. Bukan untuk mencari kayu untuk di jual, tetapi mencari bunga-bunga gunung yang aneh-aneh dan langka. Di sekeliling rumahnya pun kini terdapat bermacam-macam bunga. Alasannya adalah karena saat ini bunga-bunga sedang ngetop. Kerjaannya hanya menyemprot dan menata mereka satu persatu setiap harinya.

 

“Bunga-bunga ini mahal. Lihat saja berita di TV kalo gak percaya,” ujar lelaki itu suatu hari.


“Tapi di kampung kita gak bakal laku. Dengan harga murah pun gak laku, apalagi dengan

 harga mahal.”

 

“Itu karena orang di kampung kita gak tahu seni.”

 

“Bukannya gak tahu seni. Abang aja yang salah menjual. Harusnya Abang jual di kota, bukan di sini.” Namun lelaki itu tak pernah menjual membawa bunga-bunga itu ke tempat yang seharusnya, hingga benda-benda tersebut gak pernah laku. Dan Tini pun tetap bertahan dalam ketidakberdayaan.

 

Mengenai Ramli, lelaki itu beruntung. Ia menikah dengan gadis yang orang tuanya cukup banyak sawah dan kebun. Maka Ramli pun tetap menjadi petani sejati dan ia beserta istrinya hidup berkecukupan.

 

***

 

Bubur sudah matang. Tini mengangkat dan menuangkan bubur ke dalam wadah yang kemudian ia taruh di atas meja. Ia pun pergi untuk mencuci pakaian.

 

“Aku pergi mencuci pakaian dulu. Anak kita masih tidur. Tolong dilihat sekali-kali,” ujarnya yang kemudian dijawab Jamal dengan gumaman. Tini pun pergi.

 

Sementara itu, Jamal, yang tak lama kemudian kenyang oleh bubur panas, segera mengurus bunga-bunganya. Ia menata ulang bunga-bunga itu, menyemprotnya dan membersihkannya dari


 

kotoran. Jamal sedang sibuk dengan bunga-bunganya saat anaknya yang berumur 3 tahun bangun dari tidur. Dengan mengucek mata, anak itu menghampiri Jamal.

 

“Minum, minum…,” rengeknya. Jamal tak menyahut, ia tetap sibuk mengurus bunga-bunganya.

 

“Minum, Pak, minum.” Anak itu merengek lagi.

 

“Bapak lagi sibuk nih. Ambil sendiri sana. Kan udah bisa,” jawab Jamal tanpa menolehkan wajahnya. Anak itu pun pergi ke dapur. Ia mengambil gelas plastik seperti yang sering ibunya berikan jika ia minum. Ia pun menghampiri cerek, yang seperti biasanya berada di atas meja. Ia berusaha meraih cerek itu, namun badannya tak cukup tinggi. 

Tak kehabisan akal, ia pun naik ke atas kursi meski dengan susah payah. Tangannya terulur pada cerek. Namun masih terlalu jauh. Tanpa ia sadari kakinya telah berada di ujung kursi. Badannya yang condong ke depan terpelanting. Ia berusaha berpegangan pada benda yang dapat diraih. Wadah bubur di meja adalah benda terdekat. Ia meraihnya, namun wadah itu terlalu panas hingga pegangannya terlepas. Badannya pun jatuh, sementara wadah yang tadi ia pegang terbalik dan semua isinya tumpah ruah ke badannya. Anak itu menjerit-jerit kepanasan. Bubur panas yang baru saja matang kini menempel di sekujur tubuhnya. Mendengar jeritan itu, Bapaknya merutuk-rutuk. Merasa tanggung sedang bekerja, ia tak segera melihat ke arah datangnya suara. Lama-kelamaan suara itu menghilang dan lelaki itu merasa tenang kembali.

 

Sementara itu, Tini merasa gak enak hati. Ia meninggalkan anaknya dalam keadaan tidur. Tanpa memedulikan cucian yang belum selesai, ia segera pulang dengan melihat ke kamar. Kosong! Anaknya tak ada lagi di sana. Ia pun mencari ke teras dan ruang tengah. Namun sama saja: nihil. Dengan panik ia menengok ke dapur. Di sana ia melihat anaknya menelungkup dengan balutan bubur yang masih mengepul hampir di seluruh badan. Mata anak itu terpejam dengan air mata yang masih menetes. Tangan kirinya memegang gelas plastik.

 

Tini menjerit histeris. Semburan air mata tak dapat ia tahan. Matanya terasa nanar dan pandangannya berkunang-kunang. Badannya limbung. Air mata tak berhenti mengalir di pipinya. Sementara itu, jelaga menempel di mana-mana, menghitamkan semua yang ada, seperti hitamnya hati Tini yang dipenuhi jelaga pekat.*** (Wawang Santika Agustini)

 


 

 

 

 

 

 

 


Comments

Popular posts from this blog

Cerpen: DARA DI BATAS USIA

Pangreuah-reuah dina Miéling Poé Basa Indung Sadunya