Aku Harus Move on

Oleh Wawang Santika Agustini

 “Aku kangen Ayah, Bu,” terdengar suara anakku yang ketiga. Kulihat butiran bening mengalir di pipinya. Aku menatapnya haru.

“Kita semua merindukannya, Nak,” ujarku. Kubelai rambutnya. Kemudian aku memalingkan muka untuk menyembunyikan air mata yang tiba-tiba membasahi kedua mataku. Aku menghapusnya dengan segera.

“Bagaimana dengan sekolahku, Bu? Apakah aku akan bisa melanjutkan sekolah?” giliran anakku yang kedua yang berbicara. Aku tercekat. Pertanyaannya terasa begitu menohok ulu hatiku.

Anakku yang kedua baru saja lulus dari SMP. Tentu saja ia harus melanjutkan sekolah yang pastinya memerlukan biaya yang tidak sedikit.

 “Tentu saja, Nak. Kamu akan tetap melanjutkan sekolah,” jawabku dengan segera.

“Jika belum ada biaya, tidak apa-apa tidak melanjutkan dulu, Bu,” suaranya bergetar. Aku tahu ia tidak rela mengatakan  hal itu. Selama ini, ia selalu menjadi nomor satu di kelas, bahkan di sekolah. Tentu saja ia ingin sekali melanjutkan sekolah. Perkataannya tadi hanya untuk menenangkanku.

“Ibu akan berusaha agar kalian tetap melanjutkan sekolah. Ibu akan melakukan pekerjaan apapun yang penting halal,” ujarku tegas.

Wajah anak keduaku terlihat semringah, begitupun wajah anakku yang ketiga. Sedangkan anakku yang pertama hanya terdiam mendengar percakapan kami. Anakku yang pertama baru lulus dari sekolah menengah. Saat ini, teman-temannya sibuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Namun, ia tidak berbicara apa-apa perihal melanjutkan sekolah. Aku tahu ia tidak ingin lebih banyak membebaniku. Ia sudah dewasa dan sangat tahu dengan kesulitan yang sedang dihadapi.

Masih kuingat sebulan lalu saat mendiang suamiku masih ada. Siang itu, suamiku  terlihat begitu lelah. Tentu saja ia lelah karena memaksakan diri pergi memanggung padahal dalam keadaan tidak sehat. Ya, pekerjaan kami adalah menghibur para tamu undangan pada acara nikahan atau apapun. Aku dan suamiku bergabung pada sebuah grup musik yang menyajikan musik religi. Suamiku merupakan salah satu pemain musik pada grup tersebut, sedangkan aku vokalis. Grup kami biasa diundang dalam acara-acara.

Dulu, penghasilan kami lumayan. Setoran kontrakan rumah dan juga biaya sekolah anak-anak terpenuhi. Begitupun biaya hidup sehari-hari. Tapi semenjak pandemi melanda, penghasilan menurun drastis. Beberapa bulan kami tidak mendapat job sama sekali, yang berarti tak ada pemasukan. Meski tak ada pemasukan, kami tetap harus makan. Kami berusaha menghemat sisa uang yang ada untuk biaya sehari-hari kami berenam: aku, suami,  dan keempat anakku. Lambat laun uang simpanan terkikis habis. Hidup terasa begitu sulit.

Beberapa bulan setelah itu, kami mendapat job lagi. Alhamdulillah, kami dapat menyambung hidup. Tapi job yang didapat tidak seramai dulu. Di masa pandemi ini, orang-orang tidak boleh berkerumun sehingga jarang ada hiburan pada acara pernikahan. Akibatnya, grup musik kami pun jarang mendapat panggilan memanggung.

Saat itu, suamiku pingsan seusai memanggung. Ia kelelahan. Terlebih lagi, ia memiliki penyakit mag akut. Dokter yang menangani menyatakan bahwa suamiku harus dibawa ke rumah sakit dan dirawat inap. Benar saja, keadaannya sudah kronis. Ia dirawat selama 6 hari dan kemudian mengembuskan nafas terakhir di hadapanku.

Jerit tangis anak-anak terdengar saat mengetahui kepergian ayah mereka. Sebenarnya aku pun ingin menangis sejadi-jadinya. Namun jika aku berlaku hal yang sama, siapa yang akan menenangkan keempat anakku? Aku berusaha tegar meski hatiku begitu hancur. Bagaimana tidak? Persoalan pandemi saja telah membuatku begitu terpuruk, apalagi dengan kepergian suamiku.

Setelah kepergian suamiku, kugunakan hari-hari untuk menghibur dan membangkitkan semangat anak-anak. Mereka begitu kehilangan sosok ayah yang sangat dicintai. Sedangkan aku, aku selalu berusaha untuk tabah dan tidak menangis berlebihan di hadapan anak-anakku. Padahal sejujurnya hatiku begitu hancur dan dalam kebingungan yang teramat dalam. Aku ragu apakah aku sanggup membesarkan keempat anakku sendirian, dan apakah aku bisa menjalani hidup tanpa kehadiran suami di sampingku.Tapi sekali lagi, aku harus tegar, aku harus bangkit. Jika aku lemah dan terus terpuruk, bagaimana dengan anak-anakku?

“Anak-anakku, ketahuilah. Serindu apa pun kita pada Ayah, kita harus sadar bahwa ia telah tiada. Saat ini kita hanya bisa mendoakannya, semoga ia ditempatkan di surga-Nya. Dan sekarang, kita harus menjalani kehidupan tanpa Ayah. Kita tahu bahwa kehidupan saat ini begitu sulit. Namun kita harus bisa  melewati masa-masa sulit ini. Kita harus tegar. Jangan biarkan kesedihan menggerogoti sehingga jiwa kita menjadi lemah. Kita harus bangkit dan optimis dalam menghadapi kehidupan,” ujarku. Ketiga anakku terdiam, meresapi kata-kataku. Suasana menjadi hening. 

“Ibuuu…,” tangisan anakku yang keempat memecah keheningan. Ia terbangun dari tidurnya. Kulihat ia mengucek mata dan kemudian menghampiriku. Usianya baru 2 tahun dan belum mengerti tentang kesedihan yang kami alami.

“Kemarilah, Nak,” ujarku. Ia segera naik ke pangkuan dan memelukku. Sedangkan ketiga kakaknya masih terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing.***

Catatan:

Banyak sekali yang merasa susah di masa pandemi ini, begitu pun aku. Apalagi setelah kepergian suami, aku merasa sangat  terpuruk. Aku merasakan kesedihan yang teramat dalam dan mendapati hari-hari yang begitu sepi. Namun aku harus tegar. Aku harus bangkit. Move on, kata anak-anak zaman sekarang. Aku sadar bahwa aku harus membesarkan anak-anak dan mendampingi mereka dalam menjalani hidup. Mereka harus tabah dan kuat dalam menghadapi masalah yang sedang dihadapi. Untuk menjadi kuat, mereka  tentu harus mempunyai Ibu yang kuat pula. Aku harus bangkit untuk bisa membangkitkan semangat hidup anak-anakku. Aku harus move on karena hidup harus terus berlanjut.

 

Profil: Wawang Santika Agustini tinggal di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Hingga saat ini, ia sudah membuat beberapa buku antologi. Ia bisa dihubungi melalui akun Instagram @wawang_w dan FB Wawang Santika Agustini New.

 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Cerpen: DARA DI BATAS USIA

JELAGA

Pangreuah-reuah dina Miéling Poé Basa Indung Sadunya